Saat ini sudah banyak buku yang memuat bukti bahwa pikiran dan hati yang sehat akan membantu penyembuhan penyakit yang kita derita. Di Amerika, rumah sakit yang terkenal sudah menyediakan ruang meditasi untuk membantu proses penyembuhan. Penulis buku "Emotional Intelligence", Daniel Goeman, mengumpulkan bukti-bukti penelitian ilmiah yang menunjukkan bahwa perasaan kita sangat memengaruhi kesehatan kita. Temuan baru dalam lima sampai sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa kondisi pikiran dapat memengaruhi kekuatan sistem kekebalan tubuh dan ketangguhan sistem kardiovaskular.
Kondisi perasaan yang menekan adalah amarah, permusuhan, depresi, kesedihan, mengasihi diri sendiri, rasa bersalah, putus asa, gugup, cemas, penyangkalan terhadap kecemasan,dan lain-lain. Sebaliknya, kondisi bermanfaat yang banyak diulas adalah ketenangan, optimisme, keyakinan, sukacita, kemurahan hati, dan kasih sayang.
Kekebalan tubuh tikus putih yang diberi perlakuan kejutan elektris (stressor) berulang kali semakin lama akan semakin berkurang. Ketika kekebalan tubuh mereka sudah berkurang sebesar 80 persen, tikus-tikus itu mulai mati akibat berbagai penyakit.
Riset tentang kondisi pikiran ini bukan hanya terhadap kekebalan tubuh, tetapi juga mencakup penyakit jantung dan penyakit lain yang tidak berhubungan dengan kekebalan tubuh, dan tampaknya, perasaan yang menekan juga dapat memengaruhi kesehatan secara umum.
Dr. John Barefoot dari University of North Carlolina menguji orang yang memperlihatkan gejala kemungkinan sakit jantung yang parah. Mereka menjalani prosedur untuk mengukur penyumbatan pembuluh darah utama, tingkat marah mereka diukur dengan ujian psikologi. Mereka ditanya beberapa hal psikologis, seperti seberapa sering membentak anak-anak. Hasilnya, kelompok orang yang tingkat amarahnya paling kecil mempunyai tingkat penyumbatan yang kecil pula.
Percobaan tentang dampak perasaan terhadap tingkat kematian juga dilakukan oleh Dr. Redford Williams dari Duke University. Percobaan ini mempelajari 2.000 pekerja pabrik yang kebetulan telah menjalani tes kira-kira 25 tahun sebelumnya. Tes yang dulu dilakukan adalah mencakup tingkat permusuhan mereka. Ada sekitar sepuluh persen perbedaan tingkat kematian di antara orang-orang dengan rasa permusuhan yang rendah dibandingkan dengan orang-orang dengan rasa permusuhan yang tinggi. Adapun mereka yang skornya tinggi dalam hal amarah banyak meninggal karena berbagai penyakit, seperti jantung, kanker, darah tinggi, dan penyakit lainnya, bahkan karena hal yang di luar kesehatan, seperti kecelakaan.
Dalam suatu studi yang dimulai pertengahan tahun 1950-an, sekelompok siswa kedokteran diuji dan dikelompokkan menjadi dua jenis sikap, yaitu yang bersikap bermusuhan dan yang tidak. Dua puluh lima tahun kemudian, Williams kembali melacak mereka; dari 136 orang yang bersikap tidak bermusuhan, hanya 3 orang yang telah meninggal. Sementara itu, dari kelompok yang bermusuhan, 16 orang telah meninggal. Menariknya, kebanyakan dari kematian mereka yang marah atau bermusuhan ini terjadi sebelum usia lima puluh tahun.
Hasil penelitian pada riset di Harvard Medical School juga membuktikan bahwa sifat amarah itu menyebabkan penderita mengalami sakit jantung dan kematian. Perasaan tunggal yang paling umum dalam dua jam sebelum serangan jantung yang berat adalah amarah. Ledakan amarah pada penderita jantung dapat menurunkan efisiensi pemompaan jantung sebesar 7%, bahkan lebih.
Dalam banyak studi dan riset mengenai para penderita jantung di Fakultas Kedokteran, Universitas Stanford dan Yale menunjukkan bahwa orang yang mudah marah tiga kali lipat lebih mungkin meninggal daripada pasien-pasien lain karena serangan jantung susulan dalam sepuluh tahun berikutnya.
Kondisi pikiran lain yang berdampak negatif terhadap kesehatan adalah depresi; termasuk perasaan sedih, mengasihani diri, dan berputus asa. Dalam studi terhadap wanita yang menderita kanker payudara, wanita-wanita yang paling depresi mempunyai natural killer cells--salah satu sistem pertahanan tubuh--paling sedikit. Selain itu, tumornya juga paling cepat menjalar (bermetastasis) ke seluruh tubuh.
Para psikiater di Mount Sinai Medical School di New York mengevaluasi tingkat depresi pada orang lanjut usia yang datang ke rumah sakit gangguan tulang pinggul yang retak dan tidak bisa berjalan. Mereka yang tidak depresi tiga kali lipat lebih mungkin berjalan lagi dibandingkan dengan mereka yang depresi dan memiliki kemungkinan untuk pulih ke tingkat kesehatan semula sampai sembilan kali lipat dibandingkan dengan yang depresi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa depresi tampaknya juga menghambat pemulihan tulang.
Dalam bukunya Daniel Goleman juga menuliskan bukti-bukti hasil penelitian bahwa kecemasan atau stres juga memperburuk kondisi kesehatan. Dalam suatu eksperimen, mereka mengurung lima ekor monyet jantan yang belum pernah bertemu satu sama lain. Kelompok monyet itu selalu memilih pemimpinnya dengan cara berkelahi. Jika sudah ada pemenangnya, semua monyet lain akan mengikuti perintah dan segalanya pun berjalan damai.
Setiap bulan para periset mengambil dua ekor monyet dan menggantinya dengan monyet yang baru. Ini berarti mereka harus berkelahi lagi untuk menentukan pemimpin baru. Periset melakukan hal tersebut secara terus-menerus selama satu tahun dan, sebagai pembanding, juga mengurung kelompok lima ekor monyet lain tanpa diganti-ganti. Setelah satu tahun, mereka menemukan bahwa monyet yang diganti-ganti tersumbat semua pembuluh arterinya. Bos monyet yang diganti-ganti mempunyai penyumbatan yang paling parah. Sementara bos monyet dari kelompok yang tidak diganti-ganti dan tidak perlu berkelahi paling baik keadaannya dan paling tidak tersumbat pembuluh arterinya.
Dampak kecemasan lain adalah studi terhadap orang-orang yang tinggal dekat reaktor nuklir di Three Mile Island. Walaupun aman dan tidak pernah terjadi kebocoran, orang-orang yang tinggal dekat reaktor cenderung cemas, khawatir, dan prihatin. Ketika sampel darah mereka diambil, ternyata darat tersebut mengandung lebih sedikit sel T dan sel B daripada sampel darah orang-orang yang tinggal jauh dari reaktor tersebut. Jadi, ketakutan dan kekhawatiran tampaknya juga berdampak terhadap sisitem kekebalan tubuh.
Jika pikiran negatif cenderung menurunkan kualitas kesehatan, sebaliknya perasaan tenang dan pikiran yang baik cenderung meningkatkan kualitas kesehatan. Kebanyakan studi dilakukan terhadap orang-orang yang belajar rileks melalui meditasi.
Dr. Herbert Benson dari Universitas Harvard lagi-lagi menemukan bahwa respons relaksasi sangat baik bagi kesehatan. Studi terhadap mahasiswanya yang menghadapi ujian, tetapi sambil tetap menjalani meditasi setiap harinya, menunjukkan bahwa sel T dalam darahnya meningkat. Semakin sering dan konsisten mereka bermeditasi semakin kuat dampaknya.
Pikiran yang baik seperti kemurahan hati juga dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Dr. David McClelland di Harvard menyuruh beberapa orang untuk menonton film tentang ibu Teresa yang sedang merawat orang. Beberapa yang lain menonton tentang pembantaian Nazi di Jerman, yang membuat mereka marah. Saat diukur, ternyata kelompok yang menonton film ibu Teresa mengalami kenaikan sel T, dan kelompok satu lagi mengalami hal yang sebaliknya.
Masih banyak penelitian dan bukti bahwa apa yang kita pikirkan dan rasakan dapat memengaruhi kualitas kesehatan kita. Jika kita terus mencari, akan kita dapatkan bukti-bukti ilmiah seperti yang kita inginkan. Oleh karena itu, janganlah cepat menilai bila ada hal-hal baru yang masih belum lazim. Jika kita bisa memilih di antara dua kemungkinan, mengapa kita tidak memilih apa yang membawa manfaat bagi kita? Mulai sekarang, marilah bersama-sama berpikir baik dan bertindak baik; semua untuk kepentingan kita sendiri.
-----
dari buku Control Your Mind, Control Your Health - Peter C. Kurniali dan Irianti Erningpraja